Pesona Si Onthel Solo
Terdengar hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang melintasi bidang keabu-abuan yang terbilang keras, ditambah tetesan hujan keji melumuri bidang tempat Odot dan Gely menampakkan kaki. Mereka pun menanti hingga langit usai mencampakkan kemarahan. Memang, tak dapat dipungkiri bahwa mungkin alam masih belum puas melampiaskan kemarahannya sejak peristiwa tsunami Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi. Sembari menanti, kedua pemuda tersebut pun memanfaatkan waktu luang tersebut guna mengisi relung lambung yang tengah kosong. Selang beberapa saat kemudian, tepat ketika mereka telah melahap santapan roti bakpao tersebut, akhirnya kemurkaan langit kian sirna. Ini merupakan suatu pertanda yang amat baik karena kedua pemuda gigih tersebut dapat kembali melanjutkan perjalanan mereka demi menuntaskan sebuah misi kecil, memperbaiki onthel berparas sedikit lusuh.
“Gel, masih jauh kah lokasi yang hendak kita tuju?”, tutur Odot sembari mengawali perbincangan. “Masih lumayan, kok. Kita akan tiba di sana kira-kira lima belas menit lagi”, timpal Gely. “Ap...oh...lima belas menit lagi, ya? Oke deh”, timpal Odot pasrah. Bagaimana tidak, mereka hampir menghabiskan perjalanan hampir dua jam penuh. Ya, dapat dibayangkan bahwa perjalanan tersebut sungguh melelahkan, belum lagi beberapa kemurkaan alam menyusul kemudian.
Terdengar suara skuter otomatis segera menyambut kediaman Pak Aan. Lelaki tua itu pun segera mengenali sosok pemuda jangkung yang berdiri dihadapannya. “Oh, Nak Gely. Bagaimana kabarmu? Ada apa gerangan?”, tutur lelaki tersebut. “Pak, kok sepedanya langsung tak bernyawa selang beberapa saat ketika saya mengambilnya dari rumah Bapak kemarin”, timpal Gely yakin. “Oh, begitu ya? Mengapa Nak Gely tak langsung mengambalikannya langsung ke saya?”, timpal Pak Aan. Singkat cerita, perbincangan tersebut berlangsung sekitar saju jam yang pada akhirnya dimenangkan oleh Gely. “Oke, Pak Aan. Saya mungkin baru dapat mengambilnya dua hari kemudian. Terima kasih, Pak, atas waktunya”, tutur Gely puas. “Oke, hati-hati di jalan ya, Nak”, tutur Pak Aan sembari mengakhiri perbincangan. Sekilas, permasalahan si onthel mungil telah usai. Lantas, apakah Odot dan Gely langsung pulang kembali ke kediaman mereka? Tidak, bahkan Gely justru berniat hendak bertemu dengan rekan pengoleksi onthel lainnya, sebut saja lelaki tersebut bernama Djojo.
Rakitan Onthel Kesayangan Gely
Koleksi Onthel Milik Gely dan Pak You See
Koleksi Onthel Djojo
Ya, dapat dipastikan beberapa hari kemudian, Gely, pemuda nan jangkung tersebut segera menghampiri Djojo bersama Odot. Alangkah kaget bukan kepalang, Odot tersentak membisu dan kaku menyaksikan pemandangan sebuah ruangan yang penuh akan onthel-onthel tua nan terawat kendati kondisi-kondisi fisik mereka tak dapat dibandingkan dengan sepeda-sepeda buatan masa kini. Mungkin jumlah keseluruhan mencapai lebih dari tiga belas wujud. Lebih dari itu, Djojo pun cukup mahir memahami sosok-sosok onthel. Inti dari pertemuan kala itu adalah bahwa Gely akan mengirimkan tiga sosok rangka onthel kepada rekannya yang lain di Kota Kembang, Bandung. Sangat jelas sekali terlihat ekspresi kepuasan nan tiada tara pada raut wajah Gely. Kemenangan telak pun telah diraihnya. Sukses selalu, kawan!
Wisata Yang Tak Terduga
Pesona onthel sendiri sebenarnya hanya sebagian kecil dari ‘rahasia’ keunikan Solo. Pasalnya, kuliner di kota ini pun tak kalah menariknya dibandingkan kota-kota lainnya. Perpaduan antara harga yang sangat terjangkau, kehigienisan, serta kelezatan kulinernya membuat ‘rasa’ kota ini pun semakin berwarna, khususnya bagi Odot sendiri. Hampir sepekan penuh, Odot melahap semua jenis kuliner yang tentunya diperkenalkan oleh Gely. Dalam satu hari saja, Odot mampu melahap kuliner setidaknya empat kali. Sungguh peningkatan yang cukup signifikan ketimbang pemuda tersebut berada di Semarang. Hasilnya, fisik Odot pun semakin terlihat subur, sungguh sangat menyenangkan...sungguh menyenangkan. Di sepanjang perjalanan pun, Odot masih dapat menyaksikan keindahan Kota Solo dari segi arsitektur. Kala itu, Gely dan Odot hendak berwisata kuliner dengan menu utama soto. Namun, di tengah perjalanan, kedua pemuda kendati setengah kelaparan tersebut segera berpapasan dengan sebuah bangunan yang cukup monumental di kawasan Kerten. Dari kejauhan tampak bagian atap menjulang tinggi seolah-olah hendak menusuk langit yang dibuat bingung bukan kepalang. Kedua pemuda tersebut segera menggayuh onthel mereka masing-masing hendak mendekat ke arah bangunan tersebut. Tampak rooster-rooster yang sangat khas, yang sebagaian telah diselumuti oleh tanaman pacar tembok. Menurut penuturan Gely, konon, bangunan yang diberi nama Gereja Katolik Santo Paulus Kleco ini pada awalnya merupakan hasil Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang kerap disapa sebagai Romo Mangun. Malangnya, keaslian bangunan ini lambat laun kian sirna karena seringnya mengalami renovasi secara besar-besaran. Namun, ada satu bagian khas Romo Mangun yang masih dapat dikenali oleh masyarakat, yaitu dinding pagar ekterior kompleks gereja tersebut yang berupa rooster.
Dara Dari Yogya
Sebagai manusia, tentunya kita selalu berkembang dari masa ke masa, termasuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagi Odot sendiri, perubahan-perubahan yang terjadi seiring perkembangan zaman tersebut sebaiknya disikapi secara lebih bijaksana. Dengan kata lain, manusialah yang seharusnya belajar dari pengalaman yang telah terlukis untuk berperilaku bijak pada masa kini dan masa yang akan datang.
Terlepas dari banguann monumental tersebut, Kota Solo masih memiliki segudang misteri yang belum banyak dipahami oleh Odot. Ketika menjelang akhir pekan, Gely dan Odot dikunjungi oleh Ryryne dan Thaeta, dua dara dari negeri kreatif Yogyakarta. Segera saja keempat insan tersebut bercakap-cakap kian akrab dan segera memutuskan untuk berwisata kuliner. Bagi Odot pribadi, hari tersebut tidaklah menjadi sesuatu hal yang asing lagi baginya mengingat sudah hampir sepekan, ia teleh beradaptasi layaknya bunglon di kota tersebut.
Singkat cerita, mereka berempat segera menyantap soto yang sangat lezat. Rasa daging sapi serta kesegaran kuah bening yang menghiasi mangkuk kontan diserang oleh keempat insan tersebut dengan cepatnya, karena kondisi mereka yang sangat lapar. Seusai mengisi amunisi, mereka pun bergegas melanjutkan wisata di salah satu tempat publik yang sangat terkenal di kota tersebut, ialah Pasar Gede Solo. Pasar ini merupakan rancangan dari salah satu arsitek jaman kolonial belanda yang sangat populer. Ia adalah Herman Thomas Karsten. Namun, secara fisik, bangunan tersebut cukup berbeda dengan rancangannya yang berada di Kota Semarang. Lebih jauh lagi, bila kita berada di dalam bangunan tersebut, akan nampak dominasi baja bertengger penuh, tanpa kolom cendawan tentunya. Gely pun menjelaskan lebih lanjut kepada rekan-rekannya, Odot, Ryryne, dan Thaeta, bahwa bangunan yang terbilang megah tersebut pernah mengalami kedukaan nan payah akibat terlahap mutlak oleh si jago merah. Odot pun berspekulasi mungkin insiden yang sangat memilukan tersebut berpengaruh terhadap kondisi fisik bangunan yang sangat berbeda dengan pasar-pasar rancangan Karsten di Kota Semarang. Kondisi pasar secara umum jauh lebih baik ketimbang Pasar Johar, salah satu rancangan terkenal Karsten lainnya di Kota Semarang. Salah satu bukti terdapat pada koridor-koridor pasar yang masih cukup lebar sehingga para mengunjung dapat berlalu lalang tanpa harus berdesak-desakan satu sama lain. Selain itu, atmosfer udara interior ruangan lebih baik pula, karena pasar ini dilengkapi dengan cerobong asap serta sistem bangunan yang menggunakan sistem cross ventilation dan chimney effect.
Suasana Eksterior di Sekitar Pasar
Model Ramp Pasar
Koridor Pasar yang Masih Luas
Cerobong Asap di Lantai Dasar Pasar
Suasana Ruang Luar Dengan Koridor yang Lebar
Dominasi Kaum Hawa
Setelah puas menjelajahi kawasan Pasar Gede, keempat insan tersebut segera melanjutkan petualangan mereka yang masih tersisa, yaitu mengunjungi kampung wisata batik dan memburu serabi khas kota tersebut. Apakah mereka semua menyelesaikan misi mereka secara tuntas? Tentu saja iya. Pasalnya, seusai berjalan mengitari Pasar Gede, mereka berempat segera menuju Kampung Batik Laweyan. Suasana nan asri, sejuk, serta damai pada kampung ini sangat melekat di sanubari mereka berempat, khususnya Odot. Alhasil, sampailah mereka berempat pada sebuah rumah yang tergolong cukup unik karena ketradisionalannya. Mereka pun segera memasuki hunian tersebut.
Tampaklah batik-batik tenun berwujud pakaian dan berbagai aksesoris lainnya menghiasi sebuah ruangan mungil nan elegan tersebut. Sesosok wanita anggun setengah baya pun segera menghampiri keempat insan tersebut dengan ramahnya. Ia tak lain adalah Bunda Niken, seorang aktivis dan pengusaha mandiri. Sembari Ryryne dan Thaeta sibuk memburu produk-produk yang terpampang memenuhi ruangan itu, Gely dan Odot pun berbincang-bincang bersama wanita tersebut. Terlihat sekali sosok yang sangat matang tersebut memberikan aura yang positif karena ia tak segan-segan membagikan sejumlah kecil pengalaman ‘berharga’nya kepada kedua pemuda tersebut. Permukiman ini memang didominasi oleh kaum hawa karena semua hal yang berurusan dengan bisnis ditangani langsung oleh mereka. Mungkin lebih tepatnya, kaum matrilineal lebih berperan penting ketimbang kaum patrilineal. Singkat cerita, keempat insan tersebut pada akhirnya telah mendapatkan jaringan baru beserta buah tangan yang dibawa oleh Ryryne dan Thaeta.
Kisah terakhir berlabuh pada seputar kuliner yang khas, yaitu memburu kue serabi khas Nyonya Betty Latutah, sungguh sangat lezat! Menjelang akhir perjalanan, keempat insan tersebut segera melabuhkan sukma-sukma mereka di sebuah stasiun kereta api kota guna mengantarkan Ryryne dan Thaeta pulang ke Yogyakarta. Selanjutnya, kedua pemuda tersebut segera mengakhiri petualangan nan mendebarkan tersebut diakhiri oleh pulangnya Odot ke Semarang.
Koridor yang Dihiasi Dengan Lukisan
Zona Utama Kampung
Koridor Ruang Luar Dengan Arcade
Rumah Penduduk yang Kaya Akan Detail Estetika
Pemilik Butik, Bunda Niken
Harapan Akan Pencerahan
Kisah sederhana ini perlu diungkapkan oleh insan-insan muda bangsa karena justru budaya lokal nan anggun sering terlupakan dan semakin tercampakkan karena kita secara tak sadar pun tak mampu mengimbangi keberadaan ‘mereka’. Ada baiknya bila kita lah yang mulai ‘membuka’ jiwa kita untuk merasakan ‘mereka’ secara langsung melalui perjalanan-perjalanan ‘kecil’ seperti yang dikisahkan pada tulisan ini.
Written by AJMariendo
Comments
Post a Comment