Kisah AJMariendo di Tahun Kedua...
Balada Gerilya
Hari berganti hari
kian gusar, laksana ombak membelah samudera raya. Kala itu, AJM sedang menuntut
ilmu di sebuah Biro Arsitek di Kota mungil nan asri, Mono. Ia sudah berada di
sana selama beberapa hari nan berkesan. “Oh, betapa menawan nan sederhananya
kota ini. Ya, kau sungguh menawan menembu hingga sanubariku, Mono!”, gumam AJM ketika
menikmati keindahan dan keramahan kota itu sembari mengendarai salah satu onthel milik Pak You See. “Ya, benamkanlah
tekadmu di sini setidaknya dalam tempo tiga bulan. Kau akan mengecap
kesudahannya laksana angin fajar nan menghamburkan butiran embun”, tutur Gely
yang memang sejak awal sudah berada sejajar namun sedikit lebih memimpin di
depan bersama dengan onthel manis
kegemarannya. “Ya, Gely. Oh betapa menakjubkannya Mono ini! Segudang inspirasi
nan tumbuh semerbak menaungi sanubariku. Oh betapa banyaknya yang dapat kugali
sedalam samudera di kota nan elok ini!”, tutur AJM dengan penuh gelora.
Keunikan kota itu membuat AJM semakin tangkasnya dalam memburu bahan-bahan nan
siap sedia dilontarkan ke dalam pundi-pundi blognya. Setiap akhir pekan melaju
anggun, AJM secara berkala melakoni perjalanan ular tangganya dari Kota Mono
menuju Kota Cemar, dan sebaliknya.
Akan tetapi, sesuatu
hal terjadi diluar dugaan. Kala itu, dan memang sudah seharusnya terjadi, AJM
bertemu dengan Ewan ketika ia sedang berlibur di Kota Cemar. “Halo AJM, apakah
gerangan kabarmu?”, tutur Ewan sembari memecahkan kebisuan suasana teriknya
mentari pertanda percakapan dimulai. “Teriknya mentari seolah-olah membakar
sukmaku. Baik tentunya...”, timpal AJM sedikit tergopoh-gopoh berusaha melirik
kesempatan memburu penyegar dahaga disekitarnya. “Aku memiliki kabar sukacita.
Semoga berkenan untukmu, Kawan”, timpal Ewan singkat. “Apakah gerangan yang
kamu maksudkan?”, timpal AJM sembari meneguk pelepas dahaga yang baru dipesannya.
“Begini, ada relung kosong di Pusat Perbelanjaan Padang Gurun. Hingga saat ini,
itu masih tertidur lelap. Lokasinya strategis, tak lain ialah Gading. Ya,
Kepala Gading, Ibukota kita tercinta yang tak lain adalah Bunda Kepala”, tutur
Ewan sembari memejamkan kedua cahaya matanya seolah-olah hendak melantun alunan
nada alam. “Lantas? Apakah gerangan yang harus aku perbuat tuk menggapai
kehampaannya? Masakan aku mencampakkan buah-buah dataku ini?”, tutur AJM
menahan keruntuhan bimbang. “Mudah bagimu, Kawan! Campakkanlah semuanya itu ke
sana. Niscaya aku pun akan mendekap buah-buah datamu itu dan memukulnya hingga menghantam
pundi-pundi data Pamanku, Oom Ayono. Singkat cerita, setelah mempertimbangkan
secara saksama, AJM pada akhirnya memutuskan untuk membakar tempurung
keraguannya.
Sampai Berjumpa Pulang
Selang beberapa waktu
berlalu, tibalah bagi AJM mengayuh kehidupannya kembali ke Kota Mono. Hari itu
pun akhirnya terjadi seperti layaknya yang sudah sempat terbesit di dalam
sanubarinya. “Gely, Mas Yoyop... Sungguh tak kuasa aku menahan perkataan ini.
Apa daya aku harus segera mengakhiri pembelajaranku di kota nan elok ini. Oh
betapa besar duka nestapaku ini. Namun aku harus mendaki puncak gunung harapan
yang lainnya”, tutur AJM lirih. “Apakah gerangan yang terjadi? Lantas? Oh
bagaikan hujan es menumbuk sukmaku”, timpal Mas Yoyop lirih sembari memusatkan
pandangannya dukanya di sudut ruangan karya itu. “Yah, pasti tempat ini akan
menjadi sunyi senyap laksana kegelapan membungkam malam”, timpalnya mengakhiri
tuturan lirihnya. “Ya, kami pun akan tetap mendukung semua keputusanmu untuk
memulai pendakian gunung harapanmu yang baru. Kami masih berharap kiranya kamu
mencurahkan pengharapanmu di sini selama beberapa minggu ke depan”, timpal Gely
tenang laksana keramahan bintang mendekap kekejian malam. “Ya, semua itu
terserah apa yang kamu pandang baik, AJM”, tuturnya mengakhiri perbincangan
yang meluluhkan itu.
Si Kuda Hitam Menggiring Secercah
Harapan
“Oh selamat datang,
AJM, di Kota Bunda Kepala!”, gumam AJM di dalam sanubarinya. “Sungguh tak
pernah terpikirkan olehku untuk melanglang buana di kota besar ini. Ya,
menambatkan sukmaku di sini”, gumamnya kemudian sembari melangkahkan
kaki-kakinya mendekati pintu masuk Pusat Perbelanjaan Padang Gurun. Selang
beberapa tempo kemudian, ia sudah sampai di bagian atas gedung. Tampaklah dari
kejauhan sebuah akses menuju deretan dinding-dinding kaca mungil dengan hiruk
pikuk insan-insan tua dan muda di dalamnya. Ia semakin mendekat menuju pintu
masuk nan mungil itu. “Wah, aku bisa merasakan adanya secercah harapan
membanjiri sanubariku. Apakah kamu siap, AJMariendo?”, gumamnya di dalam hati
nan meluap-luap penuh sukacita. “Pasti”, sambungnya tegas. Singkat cerita, ia
mulai bekerja di ‘padang gurun’ itu.
Detik berganti detik.
Menit berganti menit. Jam berganti jam. Hari berganti hari. Pekan berganti
pekan. Bulan pun berganti kian giatnya, hingga tibalah di hari nan penuh makna
itu. “Ya, aku sungguh bersyukur sekali hingga kini aku bisa memomongmu,
AJMariendo”, gumamnya dengan penuh kasih. “Apakah gerangan yang mampu aku
hujamkan ke dalam sanubarimu? Masakan aku harus memomongmu dengan bumbu sedapan
yang sama? Oh, setali tiga uanglah bagi kita”, gumamnya beralih dari sukacita
merayap menjadi duka. “AJM. Apakah gerangan kabarmu?”, sapa Wie dengan nada
dingin nan tergopoh-gopoh. “Halo Wie. Kabarku baik adanya. Apakah gerangan
bagimu sendiri?”, timpal AJM sembari menyibukkan jemari-jemarinya menghantap
laptop miliknya nan penuh semangat. “Tak kuasa aku menahan deritaku hari ini.
Sukmaku seperti terkoyakkan oleh kekejian malam. Aku merasakan adanya hujaman
kepiluan yang menggelora membinasakan sanubariku”, timpalnya dengan suara yang
semakin lenyap nan parau. “Aku pastikan hal itu terjadi. Ya, kamu perlu...”,
tutur AJM yang belum sempat mengakhiri ucapannya. “Aku tau, aku perlu
menggarami sukmaku ini dengan rempah-rempah mimpiku!”, tuturnya lirih. “Perbuatlah
demikian apa yang kamu pandang baik, Wie. Ah, Puji Tuhan. Masakan hal ini
terjadi padaku? Sungguh kah? Apakah gerangan? Masakan aku menyelami mimpiku
sekarang? AJMariendo, harapanmu adalah harapanku juga”, tutur AJM dengan hati
nan bergelora bagaikan gunung merapi nan memuntahkan lahar-lahar ganasnya
hingga ke pelosok negeri. Wie mengayuhkan kakinya mendekati AJM. Kedua bola
matanya dengan cepat menguasai layar laptop AJM seraya menghunus tanpa ampun
nan penuh selidik. “Selamat AJM. Perbuatlah demikian! Aku menunggu sekembalinya
dirimu untuk merayakannya”, tutur Wie sudah berusaha menahan kerapuhan
sukacitanya. “Pasti. Apa yang kamu kehendaki terjadilah sekiranya demikian”,
tutur AJM sembari berusaha menghibur Wie yang kian meredam padam. “Sampai jumpa
AJM. Sesegera mungkin aku harus menggiring sukmaku ini ke dalam dunia mimpiku”,
tutur Wie yang suaranya semakin sayup-sayup terdengar kian pelan, pertanda
bahwa ia sudah semakin jauh meninggalkan AJM.
Dengan mendapatkan
sebuah kasih kecil dari sebuah penghargaan di Kota Cemar untuk tingkat pelajar,
maka terjadi peningkatan sukacitalah bagi AJM untuk AJMariendonya. Sepanjang
tahun, ia berusaha menggenggam erat AJMariendo dengan menghantamnya beberapa
rempah-rempah dasar yang cukup baik kala itu bagi seorang anak bau kencur. Rempah-rempah
itu diolahnya selama ia mendaki puncak harapan di ‘padang gurun’ itu. Alhasil, jumlah
pengunjung blog mungil kesayangannya meningkat kian drastis yang tak lain ialah
empat kali lebih membahana dibandingkan setahun lampau.
Bersambung
Sepintas, sukacita
nan menggebu-gebu masih menghiasi sanubari AJM pada awal tahun itu. Lantas,
apakah gerangan yang terjadi mendadak seolah-olah badai mengamuk kian ganasnya
hingga menghunus AJMariendo menjadi kian tak pelak berkutik nan berarti. Hal
itu terjadi tak terasa hingga tibalah penghujung tahun kala itu. Apakah
gerangan penyebabnya? Apakah AJM menemukan tambatan hati baru kala itu? Apakah
blog mungil kesayangannya berakhir sudah bagaikan tercampakkan di dalam lembah
kekelaman? Tunggu kisah selanjutnya di Kisah AJMariendo di Tahun Ketiga.
Comments
Post a Comment